Informasi

Menebar Abu Kremasi Dilarang
Senin, 9 Januari 2012 19:27 WIB








[HIDUP/R.B.E. Agung Nugroho]

J.A. Hendra Sutedja SJ
HIDUPKATOLIK.com - Pastor J.A. Hendra Sutedja SJ menyebut bahwa pilihan kata “penyempurnaan” paling tepat untuk mewadahi pengertian proses menangani abu jenazah sampai ke tempat peristirahatan terakhir.

Lebih lanjut Romo Hendra menjelaskan, sebelum Konsili Vatikan II, Gereja dengan tegas melarang kremasi. Larangan itu termaktub dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) tahun 1917 Kanon 1203 #1. Kanon tersebut mengatakan bahwa Gereja menolak untuk menyelenggarakan ritual penguburan secara Katolik bagi orang yang memilih kremasi. Gereja menekankan pemakaman jenazah dengan mengebumikannya.

Pada 8 Mei 1963 Paus Paulus VI mengeluarkan Instruksi Apostolik Piam et Constantem. Dokumen ini mencabut larangan kremasi. Kremasi diperbolehkan, tetapi harus dengan alasan yang sungguh kuat. Misalnya, alasan-alasan yang tidak muncul dari sikap yang berlawanan dengan dogma dan kebencian akan ajaran Gereja.

Ordo Exsequiarum 

Sikap Gereja itu kemudian diinkorporasikan ke dalam revisi KHK tahun 1983 Kanon 1176 #3. Gereja tidak melarang kremasi, tetapi anjuran pertama Gereja adalah mempertahankan kebiasaan saleh untuk mengebumikan jenazah.

Pernyataan “tidak melarang kremasi”, demikian Romo Hendra, hendaknya diartikan bahwa Gereja memberikan alternatif untuk tata cara pemakaman. “Yang harus diperhatikan adalah penyempurnaan abu jenazah setelah umat menentukan pilihan untuk kremasi,” tandasnya.

Dalam pandangan Gereja, abu kremasi harus diperlakukan dengan penuh hormat, sama seperti perlakuan terhadap tubuh manusia. Hal itu disebutkan dalam Tata Cara Pemakaman Katolik (Order of Christian Funerals, OCF) Appendik 2 tentang Kremasi art 417. Dokumen tersebut dikeluarkan oleh Kongregasi Ibadat dengan judul Ordo Exsequiarum pada 22 Januari 1966.

Romo Hendra menjelaskan, sikap hormat yang dimaksudkan hendaknya diungkapkan dalam pemilihan dan penggunaan guci “yang pantas” untuk menempatkan abu kremasi. Cara membawa abu kremasi pun harus dengan sikap hormat, sampai pada cara mengistirahatkannya di tempat peristirahatan terakhir yang layak (OCF art 417).

Setelah kremasi, biasanya abu jenazah sudah dimasukkan ke dalam kantung kain, dan kantung itu dimasukkan ke dalam guci,” jelas dosen Filsafat Timur pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta ini. Setelah itu, lanjutnya, abu kremasi yang sudah ada di dalam guci dapat disempurnakan dengan cara yang sesuai dengan ajaran Gereja.

Pemakaman di laut 

Dalam OCF disebutkan tiga cara penyempurnaan abu kremasi. Pertama, abu kremasi dikebumikan di pemakaman umum (OCF art 417). Kebiasaan cara pemakaman inilah yang dianggap saleh oleh Gereja. Abu kremasi, tetap dianggap sebagai jenazah, layak mendapat penghormatan.

Romo Hendra menjelaskan, berkaitan dengan sakralitas tubuh, Gereja menegaskan bahwa abu kremasi yang utuh berada di dalam guci hendaknya dimakamkan, dengan batu nisan di atasnya.

Kedua, abu kremasi disemayamkan dalam kolumbarium (OCF art 417). Kolumbarium atau rumah abu adalah semacam kotak-kotak kecil yang menyerupai kandang burung merpati, yang dibangun di atas tanah. Guci abu kremasi bisa diletakkan di dalam kolumbarium. “Di Keuskupan Agung Jakarta, terdapat kolumbarium Katolik bernama Oasis Lestari, yang dilengkapi dengan rumah duka dan krematorium,” Romo Hendra memberikan contoh.

Ketiga, abu kremasi dimakamkan di laut (OCF art 406 #4). Caranya, dengan membenamkan guci abu ke dasar laut. Gagasan itu merupakan interpretasi atas bagian dari doa untuk “pemakaman di laut”, yang berbunyi, “Tatkala kami menyerahkan tubuh saudara/saudari kami (nama), ke dasar laut... ” (OCF art 406 #4). Kata “ke dasar laut” mengandung pengertian, bukan disebarkan di permukaan air laut, melainkan ditenggelamkan sampai ke dasar laut dengan menggunakan “guci yang tepat”. Artinya, guci yang dipakai cukup berat dengan lubang kecil pada dasar dan tutup guci, agar memudahkan air masuk ke dalam guci, sehingga mudah tenggelam ke dasar laut. Tutup guci perlu direkatkan dengan kuat ke badan guci, supaya tidak mudah terbuka dan menceraiberaikan abu kremasi.

Dari ketiga cara tersebut, Gereja sangat menganjurkan cara memakamkan abu di dalam tanah dan menyemayamkannya di kolumbarium. Romo Hendra menjelaskan, kedua cara tersebut memungkinkan kunjungan ke tempat peristirahatan yang wafat, mengenang relasi dengannya, dan mendoakannya.

Secara manusiawi kedua cara itu sangat membantu untuk merasakan kedekatan dengan yang wafat. Baik di pemakaman atau di kolumbarium, akan tampak ‘tanda-tanda’ nyata kehadiran orang Katolik. Karena, biasanya pada makam ada nisan dan pada kolumbarium ada tanda-tanda lahiriah yang menunjukkan kehadiran iman Katolik.

Sebaliknya, cara pemakaman di laut tidak meninggalkan jejak kehidupan iman Katolik apa pun. Jejak-jejak tersebut hilang begitu saja ke dasar laut.

Praktik yang dilarang 

Menurut OCF art 417, Gereja tidak membenarkan cara penyempurnaan abu kremasi dengan menebar dari udara, menebar ke laut, dan menebar di permukaan tanah. Praktik seperti itu bukan cara yang dianggap “penuh hormat” pada martabat manusia yang telah menjadi abu. “Maka, cara-cara itu sebaiknya tidak dilakukan oleh umat,” tegas Romo Hendra.

Lebih lanjut Romo Hendra mengungkapkan, menyimpan abu kremasi baik secara utuh seluruhnya maupun dipisah-pisah dalam bagian yang lebih kecil, di rumah keluarga yang wafat atau di rumah keluarga lainnya, atau di rumah teman, juga bukan cara yang dianggap “penuh hormat” oleh Gereja. Cara ini ditolak, antara lain juga agar tidak menimbulkan kultus yang tidak sehat terkait dengan yang wafat.

Peran imam dalam cara pemilihan dan pengambilan keputusan untuk penyempurnaan abu kremasi sangat dibutuhkan umat. Bantuan pastoral para imam bagi keluarga yang berduka terletak pada pendampingan dengan memberikan pemahaman sesuai dengan ketentuan Gereja, supaya praktik yang bertentangan dengan iman Katolik tidak terjadi.

R.B. Agung Nugroho


Kutipan dari : http://www.hidupkatolik.com/2012/01/09/menebar-abu-kremasi-dilarang